Oleh: Rahiman Dani*

Ikatan mahasiswa Muhammadiyah (IMM ) berdiri di Yogyakarta, 14 maret 1964/29 syawal 1348 H. Piagam pendirian ditandatangani oleh ketua PP Muhammadiyah KH Ahmad Badawi. Mengutip dalam “Kelahiran yang Dipersoalkan” (1960) Farid Fathoni menyatakan, kelahiran IMM merupakan keharusan sejarah. Beberapa faktornya antaralain; karena kondisi atau situasi kehidupan bangsa yang tidak stabil dan pemerintahan yang otoriter, terpecahnya-belahnya umat Islam, tidak bersatunya insan kampus dalam kepentingan politik, melemahnya kehidupan agama dan merosotnya akhlak.

Merujuk sekelumit Fathoni tentang faktor lahirnya IMM, melihat kondis sejak reformasi tahun 1998 dan pasca-reformasi, mengelitik penulis untuk melihat IMM dan FOKAL IMM dalam politik kebangsaan saat ini. Isu ini sangat relevan untuk menjadi pemikiran gagasan dan langkah strategis yang harus dilakukkan IMM sebagai organisasi dan kader serta alumni dalam rangka mewujudkan tujan organisasi. Baik itu targeting dan political positioning.

Keberlangsungan dalam membangun visi gerakan dan spirit pengabdian dalam mengemplementasikan komitmen  sebagai kader Muhammmadiyah, umat dan bangsa, pada tanggal 25 September 1999 bertepatan  tanggal 14 Jumadil Akhir 1420 H di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta lahirlah organisasi Forum Keluarga Alumni  IMM (FOKAL-IMM).

IMM dan FOKAL IMM di Persyarikatan

Sebagai organisasi kader, IMM sudah seharusnya melakukkan transformasi yang berkesinambungan di dalam organisasi persyarikatan. Misalnya setelah di IMM, kader bertransformasi ke Pemuda Muhammmadiya dan Imawati bertransformasi ke Nasiyatul Aisiyah. Demikian seterusnya, kader IMM harus mampu mengisi kepemimpinan di Muhammadiyah dan Aisiyah.

Begitu juga di amal usaha, dengan usia yang ke-61 ini kader-kader dan alumni sudah selayaknya memimpin amal-amal usaha Muhammadiyah. Baik di perguruan tinggi, rumah sakit, sekolah dan amal usaha yang lain. Hal ini memberikan kepercayaan dan sekaligus contoh kepada kader-kader yang masih aktif di komisariat, cabang maupun di DPD dan DPP IMM. Karena bagaimanapun kader pasti sudah melewati proses pengkaderan formal maupun nonformal demi mewujudkan Tri Kompetensi IMM.

Sehingga tidak terdengar lagi amal usaha dipimpin oleh orang-orang yang belum melalui proses pengkaderan, dan apalagi dipimpin oleh orang yang basic-nya dari organisasi lain. Sebagaimana yang terngiang saat pengkaderan di IMM “Sebagai Pelopor, Pelangsung dan Penyempurna Amal Usaha Muhammadiyah”ini bagian tugas dari organisasi otonom atau juga sebagai Angkatan Muda Muhammadiyah.

Tokoh Alumni di Politik Kebangsaan

Sebagai refleksi dalam Milad ke-61, penulis mempunyai kesan tersendiri  terhadap dua tokoh yang pernah berkecimpung dalam politik kebangsaan yakni Yahya Muhamin dan Marzuki Usman. Keduanya pernah menjadi ketua Pimpinan Pusat FOKAL IMM. Pak Yahya pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Pak Marzuki pernah menjadi Menteri Parawisata. Selain mereka, masih banyak deretan alumni yang berkhidmad di ranah politik kebangsaan.

Namun kali ini penulis ingin mengenang ketauladan dan keikhsan Yahya dan Marzuki dalam menerapkan Tri Kompetensi IMM. Suatu kala, usai mengikuti Darul Arqom Paripurna (DAP) di Kaliurang Yogyakarta, sebelum pulang ke daerah, penulis sempat nginap di DPP IMM di Gedung Dakwah Muhammadiyah di Menteng, Jakarta. Sudah menjadi kebiasaan kader IMM se-Indonesia usai mengikuti acara nginap dulu sebelum pulang ke daerah masing-masing.

Kala itu, ba’dah subuh  tiba-tiba telpon berdering. Ring…ring…ring suara dari lantai 3 DPP IMM (kalau tidak salah waktu itu). Kebetulan penulis mengangkat telpon. Suara lembut terdengar “Ya wa’alaikum salam, maaf bisa bicara dengan Sahlan Heluth?” “Ya ini dari siapa?” jawab saya, “Yahyah” jawab Pak Yahya, “Yahyah mana?” tanya saya “Yahyah Muhaimin” jawabnya lagi. Sontak saja saya kaget “Ya Pak Menteri, saya cari dulu” jawab saya sembari bergegas mencari Immawan Sahlan. Pak Yahya sengaja ingin menelpon Immawan Sahlan karena sedang terbentur urusan kuliah akibat kerusuhan Ambon. Usai telpon saya berikan Immawan sahlan, saya sempat membatin alangkah mulia Pak Yahya.

Lain Pak Yahyah lain juga Pak Marzuki. Suatu waktu penulis menelpon Pak Marzuki. “Halo, Asssalamu’alaikum kakanda” kata penulis mengawai telpon. “Wa’alaikum salam” jawab Pak Marzuki. Penulis kemudian menayakan kabar dengan bahasa aktifis. “Izin kakanda, ini kakanda sudah mewakafkan tanah untuk Muhammadiyah di Bengkulu lebih kurang 12 Ha” ungkap saya melanjutkan telpon. “ya betul…terus gimana” jawab Pak Marzuki.

“Begini kanda seandainya masih ada tanah yang bisa diwakafkan ke Pemuda Muhammadiya (kebetualan waktu itu saya ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Bengkulu) kami bersedia mengelolahnya untuk amal usaha pemuda” lanjut saya. “Apa…apa..apa” timpal Pak Marzuki dengan nada agak tinggi. “catat ya  saya belum mendapatkan pahala dari 12 Ha tanah yang saya wakafkan” kata Pak Marzuki.

Mendengar kalimat Pak Marzuki penulis pun terdiam. Sembari mengucapkan permohonan maaf, penulis pun menutup telpon. Sejak itu penulis bertekad untuk memanfaatkan tanah wakaf dari Pak Marzuki dengan mendirikan rumah sakit Islam. Penulis ikut menata lokasi, mengurus perizinan hingga berdiri bangunan untuk administrasi, tapi usaha itu gagal. Kini di tanah wakaf Pak Marzuki telah didirkan SMA Muhammadiyah 1 Bording School.

Semoga akan lahir Yahyah-Yahya dan Marzuki-Marzuki di ikatan yang berusia 61 tahun ini, akhirnya selamat Milad ke-61 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dengan tema “Merawat IMM, Memajukan Indonesia.”

*Penulis: Alumni IMM dan Dosen Fisipol Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu.