Wali Kota Seribuan

Wali Kota Bengkulu

Phytagoras salah satu ilmuwan matematika asal Yunani, Foto: Istimewa

Ada yang tak biasa diraut muka teman-teman siang ini, Jumat, 14 Februari 2020. Ada senyuman kecil, ada elus dada, dan ada yang sedikit tertawa lebar. Macam-macam ekpresi. Lantas apa sebab? Usut punya usut, mereka sedang melototi desktop produk Lenovo yang sedang menampilkan lelaki berjenggot, berpeci putih dan memegang tongkat yang nampak berpandangan dengan seorang perempuan tua rentah. “Wali Kota 1001 Janda” demikian bunyi perpaduan huruf yang tertera di banner digital itu.

Entah apa gerangan mereka sedikit sinis. Ekpresi yang ditampilkan tidak seperti biasanya. Ada sedikit ganjalan atau mungkin merasa dibodohi oleh seseorang yang akrab dengan angka seribuan itu. Klimaknya, kami menyimpul pada satu ungkapan yang agak nyeleneh, ini orang pantas disebut “Wali Kota Seribuan”.

Bukan tanpa sebab, narasi yang lekat dengan Phytagoras itu muncul setidaknya 5 kali sejak era kepemimpinan Wali Kota Helmi Hasan. Diakhir periode pertama (2016-2017), Helmi Hasan mengklaim sudah sukses dengan program 1000 Jalan Mulus yang diikuti dengan program 300 ribu pemuda hijrah. Menyambut Idul Adha, Sang Wali Kota melaunching program 1.440 nampan nasi kebuli. Angka seribuan kembali muncul pada tagline kota hadist yang menargetkan 2.020 penghafal hadis diakhir tahun 2019. Terakhir, Wali Kota mengisi headline media massa dengan program 1.001 janda.

1.000 jalan mulus misalnya apabila mengutip data statistik yang dirilis BPS Provinsi Bengkulu 2017. Kewenangan Pemerintah Kota Bengkulu atas jalan adalah sepanjang 987,40 Km. Kondisnya 87,04 Km batu kerikil dan 45,36 Km dengan kondisi tanah. Namun, sampai dengan saat ini narasi 1.000 Jalan Mulus tak pernah diungkap secara teknis, apakah 1.000 Gang? 1.000 KM? 1.000 ruas? atau mungkin cuma 1.000 Jengkal? Kalaulah program 1000 jalan mulus benar adanya tak mungkin pula kita ‘bergoyang’ di gang-gang kota. 

Lain soal dengan 1.440 nampan nasi kebuli, hanya tuhan yang tahu berapa jumlah sebenarnya. Yang jelas di beberapa laman medos warga kota sempat nyinyir soal angka-angka itu. Kembali menggelitik soal 3.000 ribu pemuda hijrah yang barometernya sangat sulit diukur. Siapa yang hijrah? Mau dibawah kemana? Terus memang pemuda kita sudah terjerumus ke dalam lembah hitam? Pastinya puncak dari perayaan 3.000 ribu pemuda hijrah itu tak mampu memadati Masjid At Taqwa. Terus, soal target 2.020 penghafal hadis diakhir tahun 2019 sampai sekarang belum ada laporan namun, tahun telah berganti.

Tanpa bermaksud mengadili dan terlalu prematur juga untuk memvonis tapi sebaik-baiknya ilmu adalah pengalaman-dalam narasi ilmiah sering disebut fakta empiris. Program 1.001 janda ala wali kota baru saja di-launching tapi ibarat melepas sejuta bibit ikan jangan hanya simbolis, 3 janda disantuni terus nantinya ngaku seribu orang.

Penutup ini bukan penyimpul. Salah satu produk rokok ternama di Indonesia pernah memasang tagline “Talk Less Do More” sebuah pesan filosofis yang mungkin bukan hanya untuk perokok tapi bisa saja bagi para pemimpin negeri ini. Kecuali bagi mereka penganut ungkapan klasik  “Biar Mati Asal Top”. Angka seribuan untuk ambisi lima tahunan. 

Redaksi