Koalisi Indonesia Bersih, Foto: Dok
Interaktif News - Gerakan masyarakat sipil #BersihkanIndonesia telah memberikan catatan kritis atas dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia pada periode konsultasi publik, yang berakhir pada 14 November lalu.
Perhatian utama yang disoroti #BersihkanIndonesia adalah diseminasi informasi dan pelibatan publik yang
tidak bermakna dalam proses konsultasi publik dan hal kedua adalah tujuh masalah substansi dari dokumen Rancangan CIPP itu sendiri.
Dalam diseminasi dan konsultasi publik, waktu yang diberikan oleh Sekretariat JETP sangat pendek yakni hanya dua pekan. Bahkan dokumen berbahasa Indonesia baru tersedia pada 10 November sehingga praktis hanya ada 3 hari bagi publik untuk membaca versi bahasa dan memberikan masukan. Padahal dokumen itu juga berisi tentang proyek investasi yang berpotensi berdampak serius pada masyarakat yang lebih luas.
#BersihkanIndonesia mendesak Sekretariat JETP, International Partners Group (IPG), mitra dan investor untuk meningkatkan investasi pada proses diseminasi dan dialog publik dengan memperpanjang masa konsultasi publik. Hal ini harus diikuti dengan sosialisasi yang lebih gencar, luas dan menjangkau masyarakat di pedesaan terutama di lokasi-lokasi proyek. Konsultasi publik saat ini tidak didahului dengan penyebaran informasi yang optimal.
“Kami mendesak dibukanya secara menyeluruh catatan konsultasi publik, ringkasan respon atas keberatan dan usulan yang diajukan, serta konklusi apakah keberatan, masukan dan usulan dapat diintegrasikan dalam CIPP. Hal ini untuk mengusahakan pelibatan yang lebih bermakna,” ujar Ahmad Ashov Birry, Pengampanye #BersihkanIndonesia dari Trend Asia.
Masalah kedua adalah substansi dalam rancangan dokumen CIPP JETP itu sendiri. Soal substansi ini, #BersihkanIndonesia menemukan tujuh masalah yakni:
- Rancangan CIPP tidak memperbaiki kemunduran hak akses yang terjadi pada proyek-proyek bahan bakar fosil untuk mencapai transisi berkeadilan.
Tertutupnya hak akses publik terhadap proyek energi kotor selama ini ternyata tidak mendapatkan perbaikan dengan rancangan dokumen CIPP ini. Transisi yang adil memerlukan pendekatan partisipatif. Proyek-proyek yang didanai JETP harus mematuhi standar internasional tertinggi dalam hal akses informasi dan partisipasi masyarakat, dan tidak melanggengkan atau memperparah hambatan prosedural terhadap partisipasi yang lazim terjadi selama percepatan pembangunan proyek-proyek bahan bakar fosil di Indonesia.
- Rancangan CIPP mengakui kesenjangan informasi sebagai tantangan beberapa substansi penting, tapi tidak menyediakan informasi yang dapat membantu publik merumuskan masukan bermakna.
Publik dapat memberikan masukan bermakna untuk rancangan CIPP apabila terdapat transparansi semua informasi relevan yang diperlukan masyarakat untuk meninjau dan memahami CIPP. Informasi tersebut di antaranya informasi terkait status keuangan PLTU batubara, Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJLB) batubara dengan Produsen Listrik Independen (IPP), rincian waktu pensiun alami setiap PLTU batubara yang diproyeksikan PLN dan IPP, dan nilai aset PLTU batubara.
- Target penurunan emisi GRK on-grid dalam rancangan CIPP menunjukkan ambisi iklim yang rendah.
Dalam Pernyataan Bersama JETP menyebutkan bahwa emisi sektor ketenagalistrikan akan mencapai puncaknya pada tahun 2030[2]. Namun tonggak capaian ini tidak mungkin terjadi mengingat CIPP tidak menawarkan solusi memadai dalam pengelolaan besaran emisi terkunci dari PLTU batubara yang terhubung di jaringan.
Pernyataan Bersama juga menyatakan bahwa akan ada “rencana untuk mempercepat pensiun dini atau menghindari pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baik sebelum dan sesudah tahun 2030, baik di dalam maupun di luar jaringan listrik, dengan cara yang secara substansial mengurangi emisi sambil mempertahankan listrik yang stabil dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia [penekanan ditambahkan] [3].”
Lagi-lagi dalam Rancangan CIPP tidak memberikan rencana investasi maupun usulan kebijakan apa pun untuk pensiun dini atau menghindari pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara di luar jaringan listrik; dan tidak ada rencana penghentian dini pembangkit listrik tenaga batubara sebelum tahun 2030.
Margin ambisi yang tersisa untuk PLTU captive sangat rendah. CIPP secara eksplisit mengenyampingkan emisi dari PLTU captive di luar jaringan. Sekalipun rancangan CIPP merencanakan studi dan peta jalan khusus untuk PLTU captive dalam jangka waktu enam bulan setelah publikasi CIPP, rancangan CIPP tidak memberikan margin yang cukup untuk memastikan pembatasan emisi total (on-grid dan off-grid) setidaknya pada tingkat yang dapat diperkirakan mendekati ambisi awal JETP.
“Transisi energi di Indonesia sangat ironis karena hanya menyasar PLTU untuk kebutuhan domestik. Sementara PLTU yang terintegrasi dengan industri, khususnya industri pengolahan mineral seperti diabaikan. Oleh karena itu, kami menuntut kepada sekretariat JETP agar menarget PLTU Captive sebagai agenda percepatan transisi energi di Indonesia,” tutur Muhammad Al Amin, Pengampanye #BersihkanIndonesia dari WALHI Sulawesi Selatan.
- Prioritas investasi JETP terhadap pembangkit listrik baru menimbulkan pertanyaan tentang memadainya analisis mitigasi kelebihan pasokan dan perburukan kondisi keuangan PLN.
Terdapat beberapa usulan penambahan pembangkit listrik baru dalam jumlah besar yang menggunakan energi dispatchable, seperti di antaranya bioenergi, panas bumi, dan tenaga air, tanpa rencana jelas untuk penghentian pembangkit listrik tenaga batubara. Dokumen CIPP JETP belum dapat menjawab pertanyaan tentang kelebihan pasokan pembangkit listrik tenaga batubara di masa depan yang selama ini menjadi
ganjalan bagi pengembangan energi terbarukan.
“JETP diharapkan akan menjadi momentum kuat dalam merumuskan peta jalan penurunan gas rumah kaca di indonesia, akan tetapi jika mengacu kepada dokumen CIPP, dimana hanya akan mempensiunkan pltu sebesar 1,7 gw, menunjukan bahwa komitmen melawan krisis iklim masih merupakan jargon semata. Selain itu dokumen CIPP yang merupakan proposal Indonesia baik ke negara IPG maupun ke GFANZ, terkesan donor driven. Hal ini terlihat dari proyek-proyek yang tertera dalam dokumen, seperti panas bumi. Padahal panas bumi merupakan sumber energi yang tidak aman dan di beberapa tempat telah menyebabkan kerusakan baik lingkungan maupun sosial kehidupan,” ungkap Ali Akbar, Pengampanye #BersihkanIndonesia dari Kanopi Hijau Indonesia.
- Tidak ada usulan kebijakan dan investasi yang memadai yang dapat memastikan peta jalan pensiun dini pembangkit listrik tenaga batubara on-grid dapat berjalan sesuai target.
Rancangan CIPP hanya mengalokasikan pembiayaan untuk dua pembangkit listrik tenaga batubara (dengan total kapasitas 1,6 GW) yang akan dihentikan pada tahun 2037. Berdasarkan usulan tersebut, pembangkit-pembangkit tersebut, yaitu PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon-1, akan dipensiunkan hanya 5-7 tahun sebelum pensiun alaminya.
- Penghapusan bahan bakar fosil yang terkelola bergantung pada solusi palsu. Rancangan CIPP JETP mengusulkan “penghapusan bertahap” bahan bakar fosil, tapi tampaknya bergantung pada solusi palsu.
“Kami menemukan proyeksi kegiatan yang diprioritaskan di Jawa Barat akan semakin memperburuk pencemaran udara, sebagai contoh rencana kegiatan co-firing Biomassa, ada rencana kegiatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dengan mekanisme bakar-bakaran, serta kebutuhan akan batu bara masih tinggi dan tidak menghapuskan kegiatan PLTU captive. Selain itu dalam bacaan cepat kami ada ketidakjelasan daftar pensiun dini untuk dua PLTU di Jawa Barat,” tutur Wahyudin, Pengampanye #BersihkanIndonesia dari WALHI Jawa Barat.
- CIPP tidak mengaktivasi ataupun mengusulkan kebijakan pemungkin solusi-solusi berbasis komunitas, seperti PLTS atap, dan membiarkan solusi-solusi ini dalam status quo yang terhambat regulasi.
Dokumen Rancangan CIPP tidak memberikan kemudahan bagi investasi solusi-solusi energi bersih berbasis komunitas yang secara nyata sangat relevan dengan diversifikasi dan transformasi ekonomi, serta bisa memberikan manfaat langsung berupa resiliensi energi, seperti penggunaan mikrohidro, biogas skala komunitas, turbin angin skala mikro.
“Dokumen rancangan CIPP sama sekali tidak cerminkan asas keadilan, hanya akal-akalan belaka meminta masukan publik. Dokumen ini menunjukan bahwa pemerintah Indonesia tidak serius untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris. Bahkan rancangan CIPP justru terlihat berpotensi semakin memperburuk kesenjangan di masyarakat, polusi, dan kerusakan lingkungan,” tutup Wahyudin.
Editor: Iman SP Noya