Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd, Kebid Data dan PUG Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Provinsi Bengkulu
Teriakan “Merdeka!” merupakan pekikan penyemangat dan menjadi yel-yel pada setiap momen acara ataupun kegiatan dan ia merupakan ekspresi dari upaya untuk merefleksikan semangat perlawanan, perjuangan, dan menegaskan bahwa pada dasarnya setiap manusia membutuhkan ke-merdeka-an.
Demikian juga halnya bangsa Indonesia, guna menggugah kembali semangat perjuangan dan perlawanan dari segala penjajahan. Momentum 17 Agustus setiap tahun selalu dirayakan dan kiranya siapapun kita, rasanya hati dan jiwa kita pasti tergugah dan terpanggil untuk mengenang peristiwa bersejarah itu yaitu; peringatan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak terkecuali tahun ini, dimana kita masih dalam suasana pandemi yang entah kapan berakhir.
Bagi kita rakyat Indonesia, Hari Kemerdekaan ke-77 Indonesia ini merefleksikan bagaimana nilai-nilai dari Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika untuk mempersatukan kita dalam menghadapi tantangan yang ada dan menuntun untuk bersama pulih lebih cepat agar siap menghadapi tantangan global dan bangkit lebih kuat untuk siap membawa Indonesia maju.
Merdeka sejatinya adalah kebebasan untuk menikmati hak dan menjalankan kewajiban, dan sebagai warga negara juga dapat dimaknai dengan membangun, bukan untuk pribadi atau golongan tetapi membangun untuk kepentingan orang banyak, untuk ummat dan bangsa, sehingga adil dan makmur tidak hanya dirasakan oleh segelintir orang.
Pun juga dengan penegakan hukum, berlaku untuk semua kalangan, siapapun dan apapun status sosialnya. Merdeka bukanlah dimaknai bebas tanpa aturan. Merdeka juga bukan berarti semena-mena berkuasa tetapi merdeka berarti membangun dengan kekuatan persatuan.
Pertanyaannya adalah apakah perjuangan Bangsa Indonesia untuk merdeka sudah selesai? tentu jawaban tegas kita ‘Belum’sebab perjuangan yang sesungguhnya adalah bagaimana setiap warga negara bersama-sama menjaga keutuhan NKRI dari rongrongan sekelompok orang yang ingin mengganti dan menodai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan.
Apa lagi yang harus diperjuangkan saat ini? Cukupkah hanya mengucap syukur karena tidak turut mempertaruhkan nyawa untuk merebut kemerdekaan atau cukupkah dengan bersyukur karena hidup di negara yang merdeka? Cukupkah hanya berterima kasih dan selalu mendoakan para pahlawan, itupun hanya didoakan saat upacara bendera atau hanya saat peringatan hari kemerdekaan dan hari Pahlawan.
Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, tentu jawaban kita adalah tidak sesederhana itu sebab kita memahami bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang universal dan hakiki maka perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan harus dihargai dengan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, supaya kemerdekaan itu tetap dimiliki dalam setiap sendi kehidupan.
Sebagai refleksi pada Hari Kemerdekaan RI ke-77 ini, setidaknya menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang masih menjadi perjuangan intensif kita bangsa Indonesia guna mewujudkan bangsa yang berkarakter dan mampu bersaing di tengah persaingan global saat ini. Perjuangan tersebut meliputi penguatan ekonomi rakyat, pendidikan, kesehatan dan supremasi hukum.
Selain itu, pada isu-isu sosial, yang perlu juga menjadi perhatian adalah kekerasan pada perempuan dan anak. Menurut catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA,) angka laporan kasus kekerasan terhadap anak tercatat meningkat dari 11.057 pada 2019, 11.278 kasus pada 2020 dan menjadi 14.517 kasus pada 2021.
Jumlah korban kekerasan terhadap anak juga meningkat dari 12.285 pada 2019, 12.425 pada 2020, dan menjadi 15.972. Sementara itu, angka laporan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat dari 8.864 kasus pada 2019, 8.686 kasus pada 2020 menjadi 10.247 kasus pada 2021. Jumlah korban kekerasan terhadap perempuan juga meningkat dari 8.947 orang pada 2019, 8.763 orang pada 2020, lalu menjadi 10.368 kasus pada 2021.
Bila dirinci, laporan kekerasan terhadap anak terdiri dari kasus kekerasan seksual 45 persen, kekerasan psikis 19 persen, dan kekerasan fisik 18 persen. Adapun rincian kasus kekerasan terhadap perempuan terdiri dari kekerasan fisik 39 persen, kekerasan psikis 30 persen, dan kekerasan seksual 12 persen.
Fakta dan data ini tentu membuat kita menyedihkan serta miris bahwa di era kemerdekaan ini masih ditemukan tindak kekerasan tersebut. Kesadaran akan kesetaraan dan perlindungan kepada perempuan ternyata belum sepenuhnya merdeka dari segala penindasan.
Sementera kita mengetahui bahwa dalam perjalanan panjang untuk mencapai Kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari peran penting perempuan-perempuan Indonesia. Mereka berjuang mempersembahkan jiwa dan raganya, baik di garis depan maupun garis belakang pertempuran dan keberhasilan pembangunan manusia dinilai dari terciptanya ruang dan kesempatan yang setara baik perempuan maupun laki-laki dalam seluruh aspek kehidupan.
Sebab itu, perlu kiranya cara-cara sederhana yang dapat dilakukan bagi penguatan aspek kesetaraan ini, setidaknya pelibatan pendapat perempuan di dalam pembuatan keputusan dalam rumah tangga, lingkungan bermasyarakat, organisasi, pemerintahan terkecil seperti kepala desa, maupun tempat kerja. Jika hal ini dilakukan bersama-sama dan terus menerus dapat menimbulkan kepercayaan masyarakat sehingga terbentuk konstruksi sosial yang akan berpihak pada kaum perempuan. Hal ini juga dapat mendegradasi kekerasan pada perempuan.
Meskipun fenomenanya demikian, kita patut apresiasi pada saat ini dalam beberapa bidang telah menunjukkan capaian yang diamanatkan undang-undang bagi peran perempuan. Problematikanya perempuan masih menjadi pekerjaan rumah untuk mencapai tujuan sesuai pembukaan UUD. Setidaknya menurut hemat penulis terbagi empat komponen utama yaitu; Pertama, pemberian perlindungan bagi seluruh bangsa, atas dasar kasus kekerasan perempuan yang kerap kali terjadi. Hal ini menandakan implementasi terhadap Pasal 28I UUD yang menyatakan hak untuk tidak disiksa merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun belumlah terwujud.
Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Indikasi ini dapat dilihat dari beberapa indicator, terutama Indeks Pembangunan Manusia (IPM) baik pada bidang kesehatan maupun pendidikan. Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan masih nyata. Potret kemiskinan sangat lekat dengan perempuan. Bahkan kemiskinan yang dialami keluarga dengan kepala keluarga perempuan kondisinya lebih buruk dibandingkan kepala keluarga laki-laki.
Ketiga, mencerdaskan kehidupan bangsa. Tingginya angka putus sekolah perempuan memperlihatkan capaian ini masih menyimpan sejumlah catatan. Angka putus sekolah adalah perbandingan antara jumlah pelajar yang putus sekolah dan total pelajar pada tingkat yang sama di tahun sebelumnya. Ini pula yang menjadi salah satu penyebab tingginya kasus pernikahan di bawah umur yanag semakin marak terjadi.
Keempat, melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kondisi keamanan dunia masih menjadi tantanga hingga kini Indonesia masih berupaya untuk memiliki kontribusi dalam perdamaian dunia. Minimnya perempuan untuk terlibat dan fokus pada pembicaraan damai menimbulkan kerentanan dalam aksi bom bunuh diri serta terorisme.
Empat hal tersebut menunjukkan bahwa ternyata perempuan belumlah benar-benar merdeka. Kini, sudah saatnya perempuan melakukan pergerakan lebih massif sampai dengan akar rumput (grass root) dalam segala hal agar lebih berdaya dan punya daya saing yang tinggi.
Dirgahayu Republik Indonesia ke-73, “Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat”