Penumpang Gelap Politik 2019, Agenda Tersembunyi Tidak Mendukung Dua Capres ?

Penumpang Gelap Politik 2019, Agenda Tersembunyi Tidak Mendukung Dua Capres ?

Seiring menguatnya tensi politik menuju Pilpres 2019 dan meningginya isu politik berbasis identitas belakangan ini, perdebatan tentang “penumpang gelap” kembali muncul ke permukaan, tangan-tangan “gaib” yang mempengaruhi sistem demokrasi di negeri ini, akankah mereka muncul kembali menjelang 2019 nanti ?

Dark Passengers, tentu saja secara harafiah, namun dalam pengertian lain ia juga memberikan frasa makna yang sama dengan terminologi yang dipakai untuk menjelaskan bahwasanya ada kekuatan tertentu yang ingin mengambil keuntungan dari situasi politik tertentu.

Seringkali eksistensi kekuatan tersebut nampak terlihat jelas, mereka melebur pada pihak yang hampir sama tampilannya, namun di sisi lain mereka menyembunyikan agenda yang berseberangan dan justru bisa saja berakibat buruk bagi pihak-pihak yang ditumpangi, baik akibat secara internal maupun secara eksternal.

Ada indikasi kuat terkait gerakan yang ditunggangi oleh penumpang gelap dan tidak menginginkan alur proses politik kontestasi lima tahunan yang diatur dalam skema demokrasi prosedural, atau dengan kata lain ada agenda politik tersembunyi (hidden agenda) yang ingin diperjuangkan diluar skema politik yang ada dan hal tersebut sudah nampak.

Gerakan tersebut secara sistematis ingin membangun sentimen ketidak sukaan pada pihak-pihak yang dianggap tidak mewakili kepentingan politiknya, disisi lain gerakan itu juga enggan untuk menyokong kedua kubu kandidat yang akan berkompetisi di pemilu 2019 nanti, karena kedua-duanya dianggap tidak akan mewakili dan merepresentasikan kepentingan politik mereka.

Gerakan tersebut secara eksplisit dan juga terbuka mengklaim sebagai gerakan konstitusional, namun pada prakteknya klaim tersebut adalah bagian yang kemudian dapat mereka dijadikan pijakan legal argumentatif apabila aksi mereka ditolak atau dilarang.

Mereka juga kerap menggunakan jargon-jargon dan simbol yang digunakan oleh kelompok garis keras yang telah masuk wilayah penyebaran paham radikal dengan simbol-simbol yang melekat dalam setiap aksi gerakan, dan gerakan tersebut akan terus bermetamorfosa.

Pola strategi yang digunakan mirip dengan apa yang telah dilakukan di Suriah, yaitu pola memecah belah publik dan menciptakan konflik berlarut-larut hingga saat sekarang ini.

Ada beberapa politisi dalam negeri yang berpotensi bergabung bersama kelompok garis keras tersebut, oleh karena itu, hendaknya kita mulai perlu menghimbau kepada setiap partai politik untuk lebih berhati-hati agar setiap kebijakan yang di ambil tidak disusupi atau dimanfaatkan oleh kekuatan kepentingan kelompok berideologi transnasional. 

dari berbagai sumber
Penulis: Freddy Watania
Editor: Riki Susanto