Interaktif News – Beredar draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang disebut-sebut membatasi kewenangan jaksa dalam penyidikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.

Menanggapi hal ini, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad, meminta Komisi III DPR RI untuk mengkaji ulang ketentuan tersebut.

“Sebaiknya rumusan tersebut dikaji kembali. Korupsi masih menjadi musuh bersama yang membutuhkan energi besar untuk pemberantasannya. Oleh karena itu, penyidik kejaksaan masih sangat diperlukan dalam menyidik tindak pidana korupsi (tipikor),” ujar Suparji dikutip detikNews, Sabtu (15/3).

Suparji menilai revisi KUHAP seharusnya diarahkan untuk memperkuat penyidikan kasus korupsi, bukan justru melemahkan peran kejaksaan. Apalagi, menurutnya, penyidik kejaksaan selama ini telah menunjukkan produktivitas tinggi dalam menangani kasus tipikor.

“KUHAP seharusnya justru memperbaiki kelemahan dalam penyidikan tipikor, bukan mengurangi kewenangan lembaga yang selama ini telah bekerja dengan baik,” tambahnya.

Lebih lanjut, Suparji menegaskan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia harus mengedepankan kerja sama antara penyidik dan jaksa. Ia menilai, hubungan antara kedua lembaga tersebut perlu diatur secara jelas agar tidak terjadi tumpang-tindih kewenangan.

“Kondisi kerja kolaboratif antara penyidik dan jaksa harus diatur secara jelas dalam KUHAP mendatang. Bagaimanapun, keduanya berada dalam rumpun eksekutif dan tidak boleh terkotak-kotak,” paparnya.

Menurutnya, mekanisme kerja yang kolaboratif merupakan konsep yang sesuai dengan filosofi hukum di Indonesia yang mengedepankan asas gotong royong dalam sistem peradilan pidana. Dalam sistem ini, hakim tetap memegang kendali sebagai pemegang kekuasaan yudikatif yang mengawasi kinerja penyidik dan jaksa.

Dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan  penyidik tertentu mencakup penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyidik perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dalam kasus perikanan dan kelautan, serta jaksa dalam kasus pelanggaran HAM berat.

DPR Klarifikasi Draf RUU KUHAP

Habiburokhman menegaskan dalam RUU KUHAP tidak ada mengatur kewenangan institusi dalam memeriksa dan menyelidiki kasus. Ia menekankan KUHAP akan menjadi pedoman dalam proses pidana bukan mengatur tentang kewenangan terhadap tindak pidana tertentu yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP atau KUHAP.

“Draf RUU KUHAP juga tidak mencabut undang-undang di luar atau materiil manapun sepanjang tidak mengatur acara pidana yang diatur dalam KUHAP,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘Penyidik Tertentu’ misalnya Penyidik Tertentu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Penyidik Tertentu Kejaksaan dan Penyidik Tertentu Otoritas Jaksa Keuangan (OJK).

Sebagaimana informasi Aturan tersebut tertuang dalam draf RUU KUHAP pasal 6 tentang penyidik. Pasalnya menjelaskan kategori penyidik, berikut bunyinya:

Pasal 6

(1) Penyidik terdiri atas:

  1. Penyidik Polri;
  2. PPNS; dan
  3. Penyidik Tertentu.

(2) Penyidik Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.

(3) Ketentuan mengenai syarat kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, serta sertifikasi bagi pejabat yang dapat melakukan Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Reporter: Deni Aliansyah Putra