Konflik Parpol, Kritik Pengelolaan Parpol Sistem Kerajaan

Elfahmi Lubis

Oleh: Elfahmi Lubis* 

Prahara yang menimpah beberapa partai politik dan terakhir terjadi pada Partai Demokrat tidak boleh berhenti pada perspektif soal legal atau tidak legal secara hukum saja. Bukan hanya soal pertarungan politik para elit partai yang bersengkongkol dengan elit kekuasaan. Namun, jauh dari itu, bahwa ada problem serius dalam pengelolaan partai dan kuatnya feodalisme ningrat, oligarki dan elitisme yang menjadikan seolah-olah partai itu sebuah kerajaan. 

Dimana sistem pengelolaan dan manajerialnya dilakukan dengan manajemen ‘keluarga’ yaitu elit yang merasa sebagai pemilik partai. Bisa melakukan apa saja tanpa mengindahkan sistem pengelolaan sebuah organisasi modern. Padahal seharusnya Parpol harus menjadi organisasi modern dan tidak lagi bergantung pada satu tokoh sentral. 

Partai politik di Indonesia saat ini menguat ke arah oligarki dan elitisme. Partai-partai itu hanya memberi kesempatan sejumlah orang untuk memimpin. Partai dinilai tak memberikan kesempatan kepada kader biasa menjadi pimpinan. Malahan partai politik ada yang dikelola seperti perusahaan keluarga. Tidak Minim terjadi sirkulasi elite secara reguler bahkan anak, cucu, menantu, dan kerabat terdekat sudah disiapkan untuk mengantikannya. (Pangi Syarwi Chaniago, 2020)

Tidak itu saja dalam pengambilan keputusan penting dan krusial partai sangat tergantung pada salera si ‘tuan’ partai. Seperti keputusan dalam memberikan dukungan politik dalam Pilpres, Pilkada, dan pengambilan keputusan penting di parlemen. Mirisnya, isteri, anak, dan mertua ikut melakukan intervensi dalam pengambilan keputusan partai. Pengelolaan parpol jauh dari kata profesional dan modern, semuanya dilakukan oleh sang raja, ratu, sultan, dayang, dan selir. 

Dalam konteks pengelolaan parpol yang feodal seperti inilah maka potensi untuk terjadinya konflik dan gesekan di internal partai bak api dalam sekam. Apalagi jika gesekan itu menarik dan melibatkan pihak eksternal. Maka sempurnalah menjadi konflik terbuka yang mengancam eksistensi sebuah partai. 

Dalam sistem pengelolaan partai dengan manajemen ‘kerajaan’ hanya orang-orang yang dekat keluarga kerajaanlah yang bisa menikmati keuntungan dan benefit politik. Baik berupa kekuasaan maupun materi. Sementara fungsionaris partai walaupun anda sudah ‘berdarah-darah’ menghidupi dan membesarkan partai tidak akan punya arti apa-apa, jika tidak ada "restu" dari keluarga kerajaan. 

Kondisi ini kemudian memicu munculnya faksi-faksi dalam partai yang menunggu momentum untuk melakukan perlawanan, seperti melakukan KLB, Munaslub, Muktanar Luar Biasa, dan sebutan lain sejenis. Berdasarkan fakta emperis di atas, penulis memastikan jika pengelolaan parpol di Indonesia masih bersifat patron klien dan menggunakan manajemen kerajaan atau keluarga maka sampai kapan pun konflik terbuka di internal partai masih akan terus berlangsung. 

Untuk itu, ikhtiar menuju pengelolaan partai yang modern, egaliter, dan profesional merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan sejarah. Selamat malam, jangan lupa berdoa dan bahagia.

*Penulis adalah dosen di Universitas Muhammadiyah Bengkulu, anggota dewan pakar JMSI Bengkulu