Oleh: Faiha Oktrina
Kita sangat familiar dengan kata ‘ekologi’ dan ‘feminisme’, tetapi pernahkan mendengar penggabungan kedua kata tersebut menjadi ‘eko-feminisme’? Ekofeminisme merupakan cabang dari ideologi dan gerakan feminisme yang mendalami bahasan antara perempuan dan alam.
Kata ekofeminisme lahir di tahun 1974 dan pertama kali marak digaungkan oleh kaum feminis kisaran tahun 1970-1980an oleh Koalisi Perempuan Akademisi dan Profesional di Amerika Serikat. Gerakan turunan dari paham feminisme ini berangkat dari korelasi terkait bagaimana perempuan dan alam diperlakukan oleh masyarakat, khususnya kaum laki-laki yang mendominasi pada saat itu.
Perkawinan teori ekologisme dan feminisme ini memperlihatkan lebih dalam terkait kajian terhadap perempuan dan alam yang ternyata memiliki pengaruh erat atas pemahaman gender. Hal ini berangkat dari cara berpikir androsentrisme (laki-laki adalah pusat) yang disuguhkan ilmu antropologi dalam masyarakat.
Selain itu, perempuan kerap kali diasosiasikan kepada sifat-sifat alam. Misalnya, bumi yang merupakan perwujudan ‘Ibu Pertiwi’ melekat dengan kedudukan kerahiman dan penuh kasih sebagai pelindung isinya, termasuk manusia. Namun, sifat tersebut acap dikonstruksikan sebagai sesuatu yang feminim. Sehingga kaitan antara feminisme dan lingkungan terbentuk karena kultural (historis kausal).
Perempuan distigmakan sebagai kaum yang irasional, kacau dan membutuhkan kontrol. Sedangkan laki-laki adalah makhluk yang selalu bertindak logis, rapi dan nahkoda dalam segala lini. Dalam paham ekofeminisme, tajuk diatas juga melekat kepada alam. Alam dipadang sebagai sesuatu yang lemah dan nilainya terstandarisasi oleh kepentingan.
Oleh karena itu, masyarakat patriarki (yang kebanyakan adalah pada laki-laki) menganggap bahwa perempuan dan alam memiliki persamaan, dimana keduanya butuh untuk dikendalikan dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Bukti bahayanya konstruksi seperti ini dapat kita lihat preseden buruk yang melibatkan perempuan dan alam.
Menilik lebih dalam, muara dari marginalisasi hak-hak alam dan perempuan adalah kerusakan. Sylvia Walby dalam Bukunya yang berjudul ‘Teorisasi Patriarki’ mengatakan, negara adalah sentral dari beberapa konflik kekuatan patriarki dan kapitalis sepanjang sejarah, apalagi pasca Perang Dunia 2 yang membuat banyak negara gencar melakukan pembangunan dengan bersandar pada visi modernisasi dan industrialisasi.
Pemimpin negara-negara tersebut mayoritas diduduki oleh kaum laki-laki (Survei Tenaga Kerja Masyarakat Ekonomi Eropa 1984). Perempuan yang dianggap sebagai produsen kehidupan menjadi tertindas dengan paradigma masyarakat yang memandang bahwa perempuan tidak bisa seperti apa yang laki-laki lakukan dalam pembangunan. Perempuan tetap menjadi sub-ordinasi dan alam adalah ladang eksploitasi dibawah dominasi akibatnya.
Berbanding lurus dengan fungsionalisme ekonomi dan sosiologis perempuan yang ditinjau para ahli feminis, bahwasannya angka pekerja perempuan rendah disebabkan oleh sedikitnya keterampilan dan kemampuan yang dapat para perempuan suguhkan dilapangan pekerjaan. Padahal memang ruang-ruangnya dibatasi. Kemudian, dari sisi lingkungan, kita telah melihat bagaimana kehancuran ekologis terjadi dari waktu ke waktu.
Benang merah yang dapat ditarik yaitu, perempuan merupakan manusia yang tidak dapat diobjektifikasi dan dikotak-kotakan berdasarkan hirarki gender. Begitu pula alam, lingkungan berhak mendapatkan perlakuan ramah dan tidak semena-mena. Ekofeminisme memiliki konsepsi secara luas tentang hubungan diri (manusia) dengan yang lain (alam).
Manusia dan alam tidak dapat dipisahkan karena selalu berdampingan, sama halnya laki-laki dengan perempuan. Membentuk kesinambungan antara alam dan manusia adalah kewajiban, menempatkan manusia sebagai pusat dalam alam adalah keliru, bahkan menganggap alam sebagai pemenuh kebutuhan semata. Perlu diingat bahwa manusia hanyalah sentral penggerak, sumbernya tetaplah alam (resource).
Sepatutnya kita memahami ekofeminisme ini dengan cakrawala pemikiran yang futuristik. Asas satu penderitaan menjadi dasar utama dalam perjuangan ekofeminisme. Apabila setiap orang menanamkan jiwa feminisme dan ekologisme secara bersamaan, dunia dalam berkehidupan yang baik akan terjadi. Tidak ada hak-hak manusia yang tercederai dalam basis biner dan apa yang pantas alam dapatkan bukanlah sepiring kepentingan.
Kesadaran ekofeminisme ini juga tidak membutuhkan kecerdasan intelektual atau sejauh apa strata kita dalam mengenyam sebuah pendidikan. Melainkan ekofeminisme adalah panggilan etis dan kesadaran moral setiap insan dimuka bumi. Memahami bahwa hak kita dibatasi oleh hak orang lain adalah salah satu manifestasi kesetaraan dan keadilan dalam kehidupan.
Memiliki kesadaran kolektif akan merawat alam sebagai tempat tinggal seluruh umat manusia potensial menurunkan angka kerusakan lingkungan. Demi kehidupan yang selaras dan stabil untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu