Ilustrasi perhitungan bisnis Foto: Dok/freepik
PT. Jouska Finansial Indonesia mendapatkan sejumlah laporan bahwa perusahaan ini tersandung kasus pengalokasian dana yang merugikan para kliennya. Berdasarkan laporan tanggal 21 Desember 2020, nilai kerugian investasi 41 nasabah Jouska tercatat mencapai Rp16 miliar. PT. Jouska Finansial Indonesia mengalokasikan dana pada instrumen saham yang kemudian harga saham mengalami penurunan secara drastis. Tindakan tersebut menjadi salah satu penyebab kerugian yang dialami oleh para klien.
Pelanggaran Etika Bisnis pada Kasus Jouska
PT. Jouska Finansial Indonesia melakukan beberapa tindakan yang melenceng dari teori etika bisnis yang tidak sesuai dengan standar praktik perencanaan keuangan di Indonesia. Bahwa tidak seharusnya ia mengelola uang klien dengan memperjualbelikan portofolio klien walaupun kuasa sudah diberikan oleh klien.
Merujuk UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Manajer Investasi, SWI (Satgas Waspada Investasi) memperkirakan bahwa adanya penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh PT Jouska, dimana PT Jouska bukan sebagai manajer investasi atau penasihat keuangan tetapi lebih dari itu, mereka mengelola dana klien. Dugaan ini terdapat dari hasil 80 pengaduan para klien PT Jouska yang terima oleh tim Satgas Waspada Investasi.
Dalam teori etika bisnis yang di dalamnya terdapat teori deontologi yang menekankan bahwa kewajiban organisasi atau individu didalam organisasi wajib untuk bertindak secara baik. Dalam kasus ini, PT Jouska sudah melanggar dari teori yang ada di dalam etika bisnis yaitu teori deontology. Sudah jelas bahwa tersangka tidak bertanggung jawab dan mementingkan perusahaannya saja demi meraup keuntungan dengan menyalahgunakan kewajibannya yang seharusnya hanya menjadi manajer investasi atau penasihat klien. Jousaka melebihi itu, mereka mengelola dana klien yang seharusnya tidak dilakukan.
PT Jouska Indonesia juga melanggar prinsip-prinsip yang ada pada etika bisnis yang pertama yaitu; prinsip kejujuran, dimana prinsip ini merupakan prinsip yang sangat dibutuhkan dalam berdirinya sebuah perusahaan, tetapi PT Jouska secara tidak langsung membohongi 80 kliennya bahkan diduga lebih dari itu. Kedua, prinsip mutual benefit principle yaitu saling menguntungkan antara kedua belah pihak yaitu PT Jouska dan kliennya, kemudian disini juga sudah jelas bahwa klien dari PT Jouska merasa dirugikan, yang berarti PT Jouska melanggar prinsip etika bisnis yang ada, karena seharusnya klien dan perusahaan sama-sama untung. Lalu individu yang ada didalam perusahaan PT Jouska ini juga melanggar prinsip integritas moral yaitu tuntutan menjaga nama baik pimpinan maupun perusahaannya. PT Jouska bahkan merupakan perusahaan yang sudah diblokir oleh OJK.
Korupsi pada Kasus Jouska
Berdasarkan kronologi kasus yang terjadi dalam perusahaan PT. Jouska Finansial Indonesia, polisi menetapkan Aakar Abyasa Fidzuno selaku direktur utama perusahaan Jouska dan Tias Nugraha Putra selaku direktur perusahaan PT. Amarta Investa yang menjadi salah satu entitas perusahaan dari PT. Jouska sebagai tersangka atas kasus tindakan pencucian uang dan penggelapan. Tersangka berupaya untuk mengarahkan kliennya agar kontrak terkait dengan pengelolaan Rekening Dana Investor dengan perusahaan afiliasi bernama PT. Mahesa Strategis Indonesia dapat ditandatangani.
Pernyataan yang terdapat didalamnya yaitu terkait pemberian kuasa PT. Mahesa Strategis Indonesia sehingga mereka dapat melakukan pengalokasian dana ke dalam beberapa portofolio yang digunakan untuk investasi dengan membeli saham dan reksadana, salah satunya yaitu saham PT. Mitra Informatika Tbk berkode LUCK. Saham ini dibeli secara masif sehingga berdampak pada harga saham LUCK yang meningkat secara signifikan namun, bukan dari valuasi keadaan keuangan, aset, atau prospektus dari LUCK.
Tindakan tersebut merupakan salah satu permainan harga saham yang dilakukan oleh PT. Jouska Finansial Indonesia dengan pemegang saham LUCK yang terdiri atas Caroline, Christine dan Josephine. Kerjasama ini ditandai dengan adanya penandatanganan yang melawan suatu hukum. Berdasarkan jenis-jenis tindakan korupsi, kronologi kasus PT. Jouska Finansial Indonesia terkait adanya kesepakatan permainan harga saham yang memberikan dampak positif berupa peningkatan harga saham bagi pemegang saham LUCK meskipun bukan berasal dari valuasi keadaan keuangan saham LUCK yang sudah dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa tindakan ini dikategorikan ke dalam jenis korupsi yang berupa korupsi investif.
Teori Kontrak (Contract Theory) pada Kasus Jouska
Jouska sebagai perusahaan yang menyediakan jasa perencana keuangan telah merugikan banyak kliennya. Pasalnya, mereka tidak hanya bergerak dalam perencanaan keuangan, tetapi juga mengelola keuangan klien yang notabennya bukan menjadi kewenangan Jouska. Perusahaan ini juga tidak terdaftar di dalam OJK sebagai sebuah perusahaan manajer investasi sehingga dapat dikatakan sebagai perusahaan yang ilegal untuk dapat mengelola dana para klien. Sebanyak 10 klien Jouska melapor kepada kepolisian karena mereka mendapatkan kerugian finansial yang besar akibat bekerja sama dengan perusahaan tersebut. Tim Satgas Waspada Investasi (SWI) juga menerima aduan dari beberapa klien Jouska yang mengatakan bahwa perusahaan ini bukan hanya memberikan nasihat terhadap keuangan, melainkan juga ikut mengeksekusi dan mengelola dana nasabah sehingga banyak dari klien yang merasa dirugikan.
Klien juga diminta tanda tangan oleh Jouska mengenai kontrak bersama PT Amarta Investa dan PT Mahesa Strategies Indonesia dimana kedua perusahaan tersebut dikenalkan sebagai manajer investasi. Disini, jouska terlibat sebagai perantara antara klien dengan manajer investasi tersebut. Namun, setelah diketahui lebih dalam, ternyata founder Jouska yakni Aakar terlibat di dalam dua perusahaan tersebut sebagai komisaris serta perusahaan manajer investasi ini juga tidak memiliki izin OJK.
Terdapat laporan dari sebagian klien yang menyampaikan bahwa dana mereka digunakan untuk membeli saham PT Sentral Mitra Informatika Tbk yang memiliki kode saham LUCK. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata hampir seluruh klien digunakan dananya oleh Jouska untuk membeli saham LUCK. Hal ini tidak diketahui oleh klien dan tidak terdapat dalam kontrak sebelumnya. Sampai pada akhirnya, saham LUCK mengalami penurunan yang sangat drastis. Awalnya, saham LUCK memiliki harga sekitar Rp 1.900 sampai Rp. 2.020, tetapi terjadi penurunan yang tajam menjadi Rp. 400 pada Desember 2019.
Hal ini menyebabkan klien Jouska mengalami kerugian finansial yang amat besar. Jouska memang memiliki akses untuk mengelola Rekening Dana Investor (RDI) klien sehingga dapat melakukan pembelian dan penjualan saham. Namun, klien baru mendapatkan informasi mengenai transaksi tersebut setelah pembelian atau penjualan dilakukan oleh Jouska. Selain itu, ada juga keterangan dari yang menjelaskan bahwa klien tidak memiliki kuasa untuk mengintervensi keputusan Jouska dalam mengalokasikan dana di beberapa saham dan tidak disertakan pula konfirmasi dari klien.
Melihat kasus di atas, dapat diketahui bahwa Jouska memiliki kontrak dengan kliennya bernama kontrak nominaat karena antara pihak perusahaan dengan klien melakukan perjanjian jual-beli. Namun, dalam kejadian ini dapat dianalisis bahwa Jouska telah melanggar teori kontrak yang mana klien selaku agen tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai mekanisme penawaran yang didapatkan. Jouska selaku penyedia jasa perencanaan keuangan seharusnya hanya memberi nasihat kepada kliennya dan tidak mengelola atau mengintervensi dana mereka. Selain itu, miskomunikasi yang terjadi cenderung menguntungkan Jouska setelah diindikasikan bahwa perusahaan ini memiliki kesepakatan pula dengan PT Sentral Mitra Informatika Tbk (LUCK).
Penulis adalah Tiara Sri Anggraini sebagai mahasiswa Ilmu Administrasi Niaga, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.