Supremasi Hukum Alat Popularitas Era Reformasi ?

Supremasi Hukum Alat Popularitas Era Reformasi  ?

Loyalitas sempit yang melihat permasalahan dari aspek kepentingannya, arogansi sektoral seakan menjadi kewajiban tatkala setiap entitas menginginkan ruang sendiri-sendiri.

Yang pada akhirnya justru menciptakan kemandegan terasa di sana-sini, nafas dinamika seolah terlihat namun hasilnya masih nihil, sepertinya ada gaduh aktivitas namun ujungnya nol.

Mengapa terjadi demikian, itu karena sebab banyak kalangan yang telah terjebak pengertian kulit sehingga tidak bisa melihat substansi, tidak sedikit golongan yang terjerat maksud tanpa memahami maknanya.

Ketika bicara supremasi hukum orang tak bisa mengurai ke mana hukum melangkah benar guna meraih substansi tujuannya, hiruk-pikuk "supremacy of law" hanya sebagai alat menghujat, saling menjatuhkan, memecah belah kelompok, mencari popularitas, dan lain sebagainya, dan rata-rata hanya bermuara pada kebohongan belaka.

Persoalannya kapan bangsa ini tiba di tujuan bila aturan hukum tidak dijalankan dengan benar guna meraih tujuan negaranya, ketika era reformasi yang diniatkan guna memperbaiki bangsa agar tak kian terpuruk, justru kesempatannya dipergunakan untuk mengobrak-abrik dari dalam negeri sendiri.

Ketika unjuk rasa bukan lagi sebagai penyampaian aspirasi, namun telah berubah menjadi profesi, alat bargaining, bahkan sarana unjuk gengsi politisi, ketika ada sekelompok masyarakat benar-benar ingin menuangkan aspirasinya, lingkungannya sudah duluan salah persepsi, aparatnya pun sudah terlanjur apriori.

Entah di sadari atau tidak supremasi hukum telah mengajari anak-anak di negeri ini untuk tidak ingat lagi etika moral sosial, termasuk lupa hormat kepada orang tua serta pemimpinnya.

Supremasi Hukum dan Inti Keadilan 

Inti Keadilan adalah moderasi yang dilakukan secara bijaksana, sebagai contoh ilustrasi ; dengan menindak tegas atau menembak mati pelaku kejahatan begitu saja tanpa peradilan (extra judicial), memang tidak bijak, Namun dengan membiarkan para pelaku kejahatan tersebut tetap hidup dan membawa ancaman bahaya yang lebih luas, apakah hal tersebut juga dapat dikatakan sebagai sikap.

Agar tidak kecolongan, perlu menerapkan pendekatan Situational Crime Prevention (pencegahan kejahatan yang bersifat situasional) untuk meminimalisir resiko,

Stuational Crime Prevention (SCP) pada dasarnya lebih menekankan pada bagaimana caranya mengurangi kesempatan pelaku untuk melakukan kejahatan, terutama pada situasi, tempat, dan waktu tertentu.

Untuk menggunakan metode tersebut pihak aparat penegak hukum dan masyarakat tentunya perlu memahami terlebih dahulu motif dan pikiran rasional para pelaku kejahatan, yang kerap beraksi secara terang-terangan ataupun secara sembunyi-sembunyi.

Dari Berbagai Sumber
Penulis: Freddy Watania
Editor: Riki Susanto