3 petani Mukomuko membentang spanduk di depan Kantor Mahkamah Agung RI, Foto: Dok
Interaktif News - Tiga petani Tanjung Sakti Kabupaten Mukomuko yang sedang berjuang mencari keadilan di Mahkamah Agung mendapat dukungan publik. Dalam kurun waktu kurang dari dua bulan dukungan publik datang dari 54 organisasi dan tokoh masyarakat yang berasal dari 12 petani, 8 CSO, 4 tokoh masyarakat, 5 organisasi mahasiswa, dan 26 NGO.
Sebelumnya Harapandi, Ibnu Amin dan Rasuli digugat ke PN Mukomuko oleh PT Daria Dharma Pratama (PT.DDP) senila Rp 7,2 miliar atas kasus menghalang-halangi aktivitas perusahaan. Pengadilan tingkat pertama dan banding kemudian memvonis bersalah para petani dengan denda Rp 3 Miliar
Gugatan itu berawal saat para petani menggarap lahan di kawasan Desa Serami Baru, Kabupaten Mukomuko. Wilayah tersebut sebelum dikuasai petani berada dalam kondisi terbengkalai, dipenuhi semak belukar dan tidak terurus namun dilklaim sepihak oleh PT. DDP.
“Kami menilai keputusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Bengkulu tidak mencerminkan keadilan bagi petani. Selanjutnya kami meminta majelis hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Petani Tanjung Sakti Mukomuko Bengkulu atas nama Harapandi, Rasuli, dan Ibnu Amin,’’ kata kuasa hukum petani Efyon Junaidi.
Harapandi yang merupakan salah seorang tergugat mengatakan, perjuangan mereka untuk mendapatkan hak atas tanah akan tetap berlanjut. “Walaupun diterpa gugatan, suara-suara petani yang hari ini tanahnya dijarah oleh korporasi harus tetap kami suarakan” kata dia.
Ketua Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar mengatakan, derasnya dukungan publik membuktikan bahwah konflik agraria adalah masalah serius dan sistemik. Negara sambung Ali Akbar terlalu lamban dan cenderung bertele-tele dalam menyelesaikan setiap konflik tanah antara petani dan korporasi.
“Di lapanganan kami melihat setidaknya ada sembilan tapak yang melaporkan kepada kami terkait kasus yang sedang mereka hadapi,” kata Ali.
Ia menilai tim gugus reforma agrarian yang ketua oleh gubernur juga tidak efektif dalam menyelesaikan persoalan ini. Sementara pada tingkat kabupaten yang dipimpin bupati juga tidak memiliki usaha yang optimal dalam menyelesaikan persoalan konflik tanah.
“Jadi sangatlah wajar jika situasi konflik ini meledak Dimana mana. Negara harus bertanggungjawab atas semua situasi yang terjadi, termasuk dalam gugatan terhadap Petani Tanjung Sakti,” kata Ali Akbar.
Editor: Irfan Arief