Oleh: Dani Satria*
Pada akhir Desember 2019, COVID-19 pertama kali muncul di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Beberapa bulan kemudian, World Health Organization (WHO) menyatakan situasi pandemi seiring dengan peningkatan kasus di seluruh dunia. Untuk mencegah penularan virus COVID-19 tersebut, masyarakat diminta untuk menjaga jarak, termasuk saat berobat ke unit layanan kesehatan. Mulai saat itu, adaptasi terhadap layanan telemedicine menjadi pilihan terbaik di masyarakat agar para dokter dapat terus memberikan layanan medis kepada pasien.
Menurut WHO, telemedicine didefinisikan sebagai bentuk pemberian layanan medis jarak jauh dengan menggunakan sarana elektronik untuk mendiagnosis, mencegah, meneliti dan menilai penyakit guna meningkatkan kesehatan. Telemedicine berasal dari bahasa Yunani “tele” yang berarti jauh dan “medical” yang berarti layanan medis yang diberikan oleh praktisi medis. WHO membedakan istilah telemedicine dengan tele-health.
Menurut WHO, tele-health dipahami sebagai integrasi sistem telekomunikasi dengan intervensi medis yang lebih preventif dan promotif. Sedangkan istilah telemedicine mengacu kepada aktivitas yang lebih bersifat terapeutik. Namun, para ahli berpendapat bahwa kedua istilah tersebut umumnya tidak seketat klasifikasi dari WHO. Telemedicine dan tele-health pada dasarnya memiliki ruang lingkup yang sama. Istilah telemedicine dinilai lebih umum dan pada akhirnya digunakan di semua bidang kesehatan, mulai dari preventif, promotif hingga kuratif.
WHO mendefinisikan telemedicine sebagai bentuk pelayanan perawatan kesehatan yang terdapat faktor “jarak” di dalamnya, sehingga para praktisi kesehatan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana pertukaran pesan yang efektif untuk melakukan diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit serta perawatan cedera. Sedangkan manfaat lainnya menurut WHO adalah sebagai evaluasi penelitian dan pendidikan yang berkelanjutan bagi penyedia layanan kesehatan.
Selama pandemi COVID-19, dokter menggunakan teknologi telemedicine untuk meningkatkan aksesibilitas kepada pasien rawat jalan. Layanan telemedicine yang diberikan yaitu pengobatan jarak jauh yang mencakup konsultasi daring, pemeriksaan daring dan konsultasi melalui chatbot. Dengan berbagai jenis layanan telemedicine tersebut, pasien dapat mengetahui gejalanya dan meminta saran dari dokter tentang penyakitnya, terutama pada saat pandemi.
Sejarah Telemedicine
Berdasarkan catatan sejarah, telemedicine telah digunakan untuk perawatan pasien sejak tahun 500 SM. Hal itu dipraktekkan ketika manusia menggunakan media "manusia" lain sebagai pengantar pesan dari tabib kepada pasien yang lokasinya di tempat yang jauh. Selanjutnya pada awal 1900-an, telemedicine mulai diaplikasikan di dunia kedokteran Belanda, dengan mentransmisikan irama jantung melalui telepon dan diikuti dengan konsultasi medis. Setelah itu pada tahun 1920-an, konsultasi medis melalui radio menjadi layanan kesehatan yang umum di Eropa.
Pada tahun 1940, gambar sinar-X mulai dikirimkan melalui telegram antar kota di Pennsylvania. Selama bertahun-tahun, teknologi tersebut telah digunakan di dunia dan pada akhirnya muncul telemedicine berbasis internet seperti sekarang ini. Telemedicine saat ini telah memberi pasien lebih banyak informasi terkait kondisi kesehatan mereka. Pasien menjadi memiliki pemahaman yang lebih baik tentang penyakit mereka, prognosis serta efek samping dari pengobatan.
Pada saat pandemi COVID-19, telemedicine berdampak besar pada aktivitas dokter dalam merawat pasien. Dokter menggunakan telemedicine untuk berinteraksi dengan pasien mengenai perawatan mereka dan memandu perawatan pasien tanpa harus melakukan kunjungan ke rumah sakit secara langsung. Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/4829/2021 terkait dengan implementasi layanan medis melalui telemedicine selama pandemi COVID-19.
Layanan ini dapat dilakukan di fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, klinik, laboratorium medis dan apotek. Kegiatan yang dilakukan melalui telemedicine antara lain yaitu memberikan penyuluhan, komunikasi, informasi dan edukasi. Konsultasi klinis yang dilakukan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik spesifik menggunakan media audio visual, pemeriksaan penunjang, diagnosis dan pemberian obat.
Masa Depan Telemedicine
Peralihan sistem pengobatan dari tradisional ke telemedicine berkembang sangat pesat karena pandemi COVID-19. Terlepas dari banyaknya manfaat penggunaan telemedicine bagi dokter dan pasien, kesalahan diagnosis serta pengobatan yang tidak tepat dapat menimbulkan lebih banyak masalah hukum. Terkait dengan empati, pertimbangan emosional dan keterlibatan pasien dapat dikompromikan pada saat pasien berinteraksi secara virtual dengan profesional medis di platform telemedicine. Akan tetapi, yang lebih mengkhawatirkan adalah terkait dengan keamanan dan kerahasiaan data pasien.
Berdasarkan riset, menunjukkan bahwa penggunaan telemedicine juga masih sangat rendah di daerah pedesaan dan masyarakat berpenghasilan rendah. Kurangnya fasilitas terhadap akses internet adalah yang menyebabkan rendahnya pemanfaatan telemedicine. Selain itu, permasalahan implementasi telemedicine juga dialami oleh sumber daya manusia yang ada di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Adaptasi dan konsistensi terhadap pemakaian teknologi telemedicine harus menjadi sebuah upaya yang harus direspon cepat.
Terlepas dari kelebihannya, implementasi telemedicine masih memiliki beberapa kelemahan yang menentukan penggunaan klinisnya. Oleh karena itu, sangat penting bagi semua stakeholder kesehatan untuk bekerja sama dalam menerapkan dan mengembangkan sektor telemedicine agar dapat melayani kebutuhan pasien dengan lebih baik. Selain itu, pemerintah juga harus menangani aspek hukum dari telemedicine, serta agar rumah sakit juga dapat memaksimalkan penggunaan telemedicine secara maksimal.
Banyak riset ilmiah menunjukkan bahwa telemedicine merupakan solusi layanan kesehatan digital yang inovatif di masa pandemi karena efektif, efisien dan mudah diakses. Namun, setelah pandemi berakhir, pasien akan melakukan banyak pertimbangan untuk memutuskan dalam penggunaan telemedicine.
*Penulis adalah Mahasiswa Magister Promosi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro, Peneliti Forum Demokrasi Rakyat Madani (FDRM)