Opini : Beny Hakim Bernardie
Sejak sistem pemilihan langsung kepala daerah, masyarakat pemilih dipaksa untuk memikirkan sosok ideal pemimpin yang akan dipilih, dari berbagai sisi para calon. Pemilih berfikir dimaksud adalah kemampuan pemilih untuk bernalar.
Dengan kemampuan bernalar, para pemilih mulai mempelajari dan memikirkan sunguh-sunguh calon walikota yang ingin dipilih. Hal ini agar tercapai kepentingan pribadi dan masyarakat daerah. Kemampuan bernalar adalah kemampuan pemilih dalam melihat atau memperhatikan untuk mengetahui, memahami, menganalisis, menentukan sebab akibat, berpikir abstrak, berbahasa, memvisualkan sosok para calon walikota.
Betapa pentingnya sosok calon yang akan dipilih? Jujur itu tidak signifikan berdampak pada berbagai sisi kehidupan masyarakat Kota Bengkulu, sebagai Ibukota provinsi. Meskipun demikian, setiap pemilih, jangan sampai memilih asal “tembak jenggo” saja. “Kuatirnyo, tembak kaki kenai palak. Tapi masih lemak jugo daripado tembak-an meleset!”
Jangan memilih karena uang receh atau faktor kedekatan tapi tidak “ngepek”. Apalagi pemilih yang “setto-setto nasik idak bekuah. Abis nasik makan kuah”. Kecendrungan seperti ini rawan ada di Kota Bengkulu. Sebuah kota jasa tanpa pabrik dan hanya mengandalkan pemasukan daerah melalui retribusi parkir, pajak hotel dengan penghuni terukurnya.
Memilih calon walikota Bengkulu misalnya kenapa dibutuhkan kajian memilih yang relatif mendalam? Karena sosok calon bila terpilih mestilah yang sigap dan tanggap melihat pundi-pundi dana yang berada di pemerintahan pusat atau diluar negeri. Sekedar mengingatkan, tiap profil kemiskinan akan kucuran ada dananya. Di sisi budaya, sosial juga ada, selain dana usulan dan rutin yang akan mengucur. Tidak cukup bila para pemilih hanya melihat sisi calon dari ‘tegak segak dan lagaknya’ saja.
Jangan Salah Bernalar
Penulis tidak melulu ingin mengatakan kalau para pemilih di Kota Bengkulu pernah kurang tepat dalam memilih, tidak. Tapi realitas yang ada dalam kehidupan, pemilih rasional yang selalu menilai setiap calon, acap kali pernah salah dalam menarik deduksi. Apalagi pemilih yang hanya mengandalkan keinginan dan emosinya saja.
Kemampuan menarik deduksi yang penulis maksud adalah kemampuan pemilih dalam menarik kesimpulan, dari keadaan yang umum sosok para calon walikota ke keadaan khusus. Jangan terbalik memperdayakan otak kiri kita dalam bernalar.
Dalam banyak hal, fikiran dan pemikiran, keinginan, emosi melakukan kesalahan, tidak terbatas pada nalar saja. Hanya dengan melihat sosok calon walikota dan wakilnya saja, dapat mewujudkan puluhan kesalahan atau cacat. Dengan nalar kesalahan dapat juga terjadi, bila pemilih membuat deduksi, ternyata saat menarik kesimpulan salah dasar bagi deduksinya.
Pertanyaannya, apakah karena keliru mengunakan akal secara salah dalam sejumlah kecil kejadian, pemilih harus menidurkan fikirannya? Apa pemilih harus mengunakan sarana khusus untuk menemukan kesalahan fikiran seseorang dan kemudian mencegahnya? Saya rasa kita lebih tahu jawabannya.