Dukungan Politik ala Fanatisme Buta ?

Dukungan Politik ala Fanatisme Buta ?

Fanatisme terhadap tokoh, atau partai politik tertentu, sangat membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. Fanatisme cenderung memecah-belah, baik secara kesukuan, kedaerahan, atau keagamaan.  Apabila Fanatisme politik berkaitan dengan kekuasaan, bisa diartikan tujuan utamanya mempertahankan atau merebut kekuasaan.

Orang-orang sangat bernafsu bertahan atau merebut kekuasaan karena meyakini bahwa dengan berkuasa akan bisa mewujudkan cita-cita, ambisi, dan kepentingan kelompoknya.  ini menggambarkan bahwa gaya  Machiavelli untuk meraih kekuasaan sepertinya belum sirna dari wajah demokrasi di Indonesia.

Di dalam dunia politik, setidaknya di hari-hari belakangan ini kita disuguhkan fenomena bagaimana fanatisme buta benar-benar menutup seluruh indera seseorang atau kelompok tertentu dalam masyarakat yang mengidentifikasi dirinya sebagai pendukung fanatik seorang tokoh politik tertentu. Sekalipun didukung bukti berupa data, pemberitaan negatif tentang tokoh idolanya akan serta merta ditolak mentah-mentah.

Tidak hanya itu, mereka juga cenderung menyerukan ajakan kepada pihak-pihak yang sepemikiran dan sesama pendukung idolanya untuk mengadakan aksi untuk mendemonstrasikan loyalitasnya dalam bentuk aksi-aksi. Kelompok fanatik seperti ini umumnya menyukai simbol-simbol, jargon/tag line untuk mengidentifikasi dirinya sebagai pembeda dengan pihak yang berseberangan pemikiran atau pilihan dengan mereka.

Fanatisme membuat pendukung tidak bisa menerima kritik, karena bagi mereka tokoh/pandangan politiknya yang paling benar, pada akhirnya, fanatisme mencederai nilai-nilai demokrasi.

Mereka cenderung cepat merespon headline berita, dengan me-reply, men-share, tag, tanpa merasa perlu membaca seluruh isi berita atau melakukan re-check terhadap kebenaran isi berita tersebut. Pendeknya, berita positif mengenai idolanya mereka percayai penuh dan berita negatif mereka tolak untuk percayai, sekalipun data, bukti dan pernyataan dari pihak resmi instansi hukum terkait terpampang di depan mata.

Uniknya, pada kelompok ini segmen masyarakat yang well educated dan berasal dari social economy status menengah ke atas prosentasenya cukup banyak. Fenomena ini menarik untuk dicermati. Atau mungkin benar data yang pernah direlease oleh salah satu media riset internasional bahwa di Indonesia, termasuk pada segmen masyarakat middle upper class dan educated, tingkat kepercayan dan kepedulian terhadap data/hasil survey/hasil riset masih sangat rendah dibanding negara-negara Asia lainnya.

Mengingat bahwa kelompok ini cenderung anti kritik, obsesif dan seringkali mem-bully pihak yang berseberangan dengan keyakinannya, pemerintah harus melakukan tindakan antisipatif dengan berbagai pendekatan, agar sikap yang cenderung menghadap-hadapkan perbedaan dan berpotensi berujung pada bentrok fisik antar 2 kelompok fanatis yang berbeda pilihan dapat dihindari.
Dalam situasi ini pemerintah dan aparat keamanan serta hukum harus mengambil jarak yang sama, adil dan arif serta menyerahkan segala sesuatunya pada aturan hukum, bukan dengan membela salah satu pihak karena hanya akan membuat celah keretakan di dalam masyarakat semakin membesar.

Kelompok seperti ini harus diyakinkan bahwa perbedaan adalah suatu keniscayaan dan bahkan dalam dunia politik sekalipun, etika dan sikap mendukung pilihan mayoritas adalah merupakan jalan demokrasi khas Indonesia yang memuliakan konsep musyawarah dalam mengambil dan menyepakati suatu keputusan bersama.

Bangsa Indonesia seyogyanya terus mengembangkan diri menjadi bangsa yang egalitarian; yang memandang bahwa semua manusia adalah sama dalam status nilai atau moral secara fundamental, dimana prinsip kesetaraan, hak-hak politik dan ekonomi, sosial dan sipil dapat dimajukan secara kolektif kolegial dan bersama-sama, tidak sendiri-sendiri.

Hindari semua bentuk anomali atau penyimpangan yang merugikan perjalanan peradaban bangsa kita menuju bangsa yang semakin kuat, cerdas dan berdaya saing tinggi, bangkit setara dengan negara-negara maju lainnya.

Dirangkum dari berbagai sumber
Penulis: Freddy Watania
Editor: Riki Susanto